Senin, 03 Desember 2018

Pemilukada Serentak 2018: Telaah Sikap Introvertisme Komunal


PEMILUKADA 2018


Pemilihan umum (Pemilu) merupakan proses memilih sosok untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi massa secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, hubungan publik, komunikasi massa, lobi dan kegiatan lainnya. Pemilu menjadi salah satu pilar utama dari sebuah akumulasi kehendak rakyat, yang sekaligus merupakan prosedur dalam memilih pemimpin dalam tubuh sistem yang berasaskan demokrasi. Olehnya itu dapat dikatakan bahwa Pemilu pada hakikatnya merupakan suatu tindak pengejawantahan dari sikap demokratis kolektif warga negara dalam tatanan demokrasi. 

Diyakini oleh awam bahwa Pemilu adalah mekanisme pergantian kekuasaan (suksesi) yang paling aman bila dibanding dengan cara-cara lain. Mengapa pemilu dikatakan sebagai mekanisme suksesi yang paling aman? Negara demokrasi, termasuk Indonesia, mengutamakan kepentingan umum dari pada pribadi. Artinya, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang formulasi kebijakannya secara langsung atau tidak ditentukan oleh suara warga yang memiliki hak suara melalui pemilu. Sehingga, pemilu dapat dianggap sebagai lambang dan tolok ukur dari pencapaian demokrasi itu sendiri. 

Indonesia sebagai negara yang menganut tatanan demokrasi tentu saja memiliki landasan dalam penyelenggaraan pemilu. Landasan tersebut terdiri dari: (1) Landasan Ideal, yakni Pancasila terutama sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan; (2) Landasan Konstitusional, yaitu UUD 1945 yang termuat dalam pembukaan alinea ke empat, serta batang tubuh pasal 1 ayat 2 dan 3 Penjelasan Umum tentang sistem Pemerintahan Negara, juga hasil amandemen ke tiga UUD 1945 dalam pasal 22E; dan (3) Landasan Operasional, yaitu Garis-garis Besar Haluan Negara berupa ketetapan MPRS/MPR, serta peraturan perundang-undangan lainnya yaitu UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, serta UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. 

Oleh karena pemilu merupakan wujud nyata implementasi demokrasi, maka pemilu yang menjadi tolok ukurnya juga harus diselenggarakan secara demokratis. Terdapat asas-asas dalam Pemilu di Indonesia yang menjadi indikator terselenggaranya Pemilu secara demokratis, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. 



“Langsung”, artinya pemilihan umum harus dilaksanakan secara langsung dan tidak boleh diwakilkan, sebagai wujud politik partisipatif warga negara. Pendidikan politik yang baik melalui pemilu dapat meningkatkan peran masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis. 

“Umum”, artinya seluruh warga negara yang telah memenuhi kriteria memiliki peluang yang sama untuk memilih (menggunakan hak suara) dan dipilih (mencalonkan diri) tanpa terkecuali. Peluang pencalonan yang sama ini juga dibarengi dengan peluang yang sama untuk menjadi pemenang dalam pemilu untuk mencapai predikat demokratis. 

“Bebas”, berarti pemilu dilakukan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Pemilih bebas memilih calon pemimpin terbaik menurut mereka tanpa adanya intervensi dari orang lain. Hal ini merupakan hak yang sangat dilindungi dalam negara demokrasi. 

“Rahasia”, berarti pemilu bersifat rahasia dan tertutup, tidak boleh diketahui oleh pihak manapun kecuali si pemilih itu sendiri, Hal ini demi menghindari konflik karena perberbedaan pendapat antara pemilih satu dengan yang lain, serta menghindari adanya campur tangan dari siapapun dalam menentukan pilihan. 

“Jujur”, artinya Pemilu dilaksanakan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. “Adil” berarti adanya perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tidak ada pengistimewaan terhadap kelompok tertentu maupun diskriminasi terhadap kelompok lainnya. Asas yang adil tidak hanya untuk peserta pemilu dan pemilih, tetapi juga untuk penyelenggara pemilu. Jika asas-asas tersebut diatas dijalankan dengan baik, maka penyelenggaraan Pemilu akan berjalan dengan lancar dalam suasana demokratis demi membangun bangsa yang sejahtera, adil dan makmur.

Bila menilik sejarah, riwayat Pemilu di Indonesia telah dimulai sejak zaman Orde Baru yaitu pada 1987 yang diselenggarakan setidaknya lima tahun sekali. Boleh dikatakan bahwa proses demokrasi melalui Pemilu di Indonesia telah dewasa dari segi usia. Matangnya usia Pemilu juga diharapkan menjadi indikator kematangan sikap warga negara dalam melaksanakan agenda demokrasi ini. Matang dalam artian bahwa warga negara menggunakan hak pilihnya yang di-maintenance sedemikian rupa sehingga mencapai puncak rasionalitas dalam menentukan pilihannya, tanpa ada pengaruh dan paksaan berbentuk apapun.

Belum genap seminggu Pemilukada digelar serentak di 171 daerah (17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota) di Indonesia yang melibatkan sekitar sekitar 160 juta pemilih. Pemilukada merupakan manifestasi dari lahirnya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Baik propinsi maupun kabupaten dan kota diberikan wewenang yang luas untuk mengatur dan mengelola wilayahnya, tidak terkecuali dalam memilih kepala daerah. 

Pemilukada langsung dipandang sebagai akselerator penggerak pembangunan dari satu step-stone ke step-stone berikutnya di negara yang dinamis secara geografis seperti Indonesia. Pembangunan yang dimaksud tidak lain adalah untuk mencapai cita-cita mulia kehidupan berbangsa yang bermuara pada terciptanya kesejahteraan dan keadilan. 

Introvertisme memiliki akar kata introvert, yang berasal dari Bahasa Latin “intro” berarti ke dalam dan “vertere” yang berarti berbelok atau mengarah. Hal ini menggambarkan keadaan pribadi yang cenderung mengarah ke dalam, atau secara singkatnya tertutup. Introvert juga bisa menjadi kata kerja, yang secara harfiah berarti "melipat ke dalam" atau "mengarah ke dalam". 

Introvert adalah ciri kepribadian yang ditandai dengan adanya kecenderungan untuk lebih melihat ke dalam dirinya sendiri, sehingga orang-orang introvert lebih fokus terhadap apa yang ada dalam pikirannya, terhadap perasaannya, dan suasana hatinya, ketimbang terhadap hal-hal lain di luar dirinya. Secara komunal, introvertisme kiranya dapat kita generalisasikan sebagai sikap tertutup sebuah kelompok masyarakat terhadap sesuatu yang berasal dari luar kelompoknya, baik itu berupa pandangan, pemahaman maupun cara atau metode. 

Namun juga, hal ini, tidak boleh membuat kita menjustifikasi secara radikal bahwa kelompok introvert adalah sekumpulan orang egois yang tidak mau bersosialisasi dengan orang lain. Dalam konteks politik seperti Pemilu misalnya, introvertisme erat kaitannya dengan kecenderungan masyarakat untuk mengusung maupun memilih calon pemimpin yang memiliki kedekatan atau kesamaan dengan mereka. Hal ini tidak lain ialah sebagai representasi atau cerminan kehendak untuk melihat ke dalam dirinya. 

Kembali menyoal Pemilukada yang belum lama dilaksanakan. Selain sarat dengan masalah klasik seperti politik transaksional atau politik uang, Pemilukada juga selalu berdampak pada konflik dingin secara horizontal antar kelompok, baik sebelum maupun setelah hajatan Pemilu. 

Menurut hemat penulis, hal ini dapat diakibatkan oleh adanya introvertisme komunal dan kecenderungan mempertahankannya. Aktualisasi introvertisme yang paling nyata dalam lingkup Pemilukada adalah kecenderungan masyarakat untuk memilih pasangan calon pemimpin berdasarkan kesamaan suku. 

Mengambil contoh pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Sulawesi Tenggara, sikap introvertisme berdasarkan suku ini tergambar pada hasil perhitungan cepat (quick count) beberapa jam setelah Pemilu dilaksanakan. Pasangan tertentu memenangkan hasil perhitungan cepat di kabupaten/daerah yang notabenenya merupakan daerah (suku) asalnya. 

Dalam perspektif mintakat yang lebih luas, introvertisme seperti ini lumrah terjadi di negara yang keadaan geografisnya berupa kepulauan seperti Indonesia. Konsekuensinya antara lain melahirkan banyak suku-suku, termasuk juga pandangan, pemahaman maupun cara atau metode. Tidak hanya di Sulawesi Tenggara, introvertisme pemilu juga terjadi di daerah lain, dengan latar introvertisme komunal yang sama yaitu suku maupun yang berbeda semisalnya agama, almamater (dalam ranah pendidikan), serta kelompok sosial lainnya. 

Hal yang menjadi catatan dalam Pemilukada serentak Tahun 2018 hubungannya dengan introvertisme antara lain aktualisasinya yang bukan pada tempatnya. Sikap introvertisme dalam Pemilu tidak jarang menjadi cikal bakal tumbuhnya konflik horizontal, praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), serta eksklusivitas kelompok. 

Introvertisme yang bersifat negatif pada Pemilu ini berawal dari tingkat pendidikan pemilih yang tergolong rendah dan minimnya bahkan buta sama sekali pada karakter dan visi misi calon pemimpin. Hal ini menjadikan masyarakat abai terhadap kapasitas dan kemampuan calon yang ada, yang pada akhirnya bermuara introvertisme yang paling dekat yaitu kecenderungan memilih berdasarkan kesukuan. Pemimpin yang terpilih rentan karena faktor introvertisme akan cenderung mengalami kedekatan yang lebih intim pada tim sukses dan kelompok yang menjadi tim pemenangannya, maupun wilayah yang menjadi lumbung suaranya saat Pemilu.



Tidak jarang pula berakibat pada termarjinalnya kelompok yang berbeda pilihan atau sukunya. Beberapa contohnya dapat terlihat pada proyek-proyek yang ditangani Pemerintah daerah seringkali dipihak-ketigakan pada pengelola yang “itu-itu saja”. Pengelola yang “itu-itu saja” tersebut tidak lain merupakan bagian dari tim pemenangan maupun yang memiliki kesamaan suku dengan kepala daerah. Tindak kolusi dan nepotisme seperti ini juga terkadang berlaku dalam pengangkatan jabatan di lingkup Pemda. Semua ini merupakan dampak turunan dari introvertisme yang negatif tadi sehingga Pemilukada yang juga diharapkan sebagai wadah pendidikan berdemokrasi tidak berjalan sesuai yang dicita-citakan.

Sikap introvertisme sebenarnya secara naluriah memang dimiliki oleh manusia, yakni sikap untuk cenderung memilih hal-hal yang diketahui secara dekat saja dan yang mencerminkan keadaan diri sendiri, serta cenderung apriori pada hal asing atau yang tidak merepresentasikan diri. Olehnya itu, bukan menjadi sesuatu yang mutlak salah bila sikap introvertisme komunal dijadikan sandaran dalam memilih calon pemimpin dalam sebuah Pemilu. Di usia demokrasi kita yang telah dewasa, pemilih juga semestinya tetap pada koridor menggunaan hak pilih yang di-maintenance sedemikian rupa sehingga mencapai puncak rasionalitas dalam menentukan pilihannya.



Jumat, 30 November 2018

BANGSACARA DAN RAGAPATMI


By: Rofiq Guenius


Cerita Bangsacara dan Raga padmi di pulau Mandangin Sampang Madura
DERITA SEORANG SELIR

Ibarat "Habis manis sepah dibuang", sampai saat ini masih dikenal orang, hahkan sering kali masih terpakai. Seperti tebu, jika airnya sudah terisap habis, tinggallah sepahnya kemudian dibuang. Ini dikisahkan kepada orang-rang yang mula-mula sangat menghargai sesuatu atau seseorang. Akan tetapi setelah bosan langsung dibuang, disia-siakan.
Demikian pula yang terjadi pada Bidarba dari Madura, yang memunyai patih bernama Bangsapati, dan memunyai seorang pelayan yang sangat dikasihinya bernama Bangsacara. Raja Bidarba punya permaisuri 4 orang dan masih banyak istri lainnya. Diantra istri yang banyak itu ada yang bernama Ragapadmi, yang sangat muda dan cantik.
Namun tidak disangka-sangka Ragapadmi yang cantik itu terkena penyakit campak. Sekujur tumbuhnya bintul-bintul, lalu pecah yang kemudian nanah meleleh tiada henti. Raja Bidarba, menjadi kesal melihatnya. Segala obat tidak ada yang mempan untuk menyembuhkannya. Akhirnya raja memanggil Bangsacara.
"Hai, Bangsacara, Putri Ragapatmi ternyata tidak bisa diobati lagi. Segala macam usaha telah sia-sia”. Kata Raja Bidarba setelah Bangsacara menghadap.
“Lalu bagaimana kehendak paduka”
"Begini Bangsacara, bawalah dia kerumahmu dan ambillah sebagai istrimu untuk selamanya. Dan kau Ragapadmi kekasihku, lakukanlah perintahku. Ikutilah Bangsacara semoga kau bahagia selamanya.
Maka Bangsacara dan Ragapadmi keluar dari istana dengan wajah murung muram, wajah Bangsacara dan Ragapadmi penuh luka dan keringkihan Ragapadmi bersedih dan menangis sepanjang jalan.
    “Adinda Ragapadmi. Jangan menangis sepanjang jalan seperti itu. Tidak pantas dilihat orang”.
Setelah sampai dirumah, Bangsacara lain menceritakan kepada ibunya siapa sebenarnya perempuan yang dia bawa, dan bagaimana perintah Raja Bidarba kepadanya. Pada akhir ceritanya. Bangsacara berkata, “Akan tetapi berat hatiku untuk melaksanakan perintah itu”.
“Mengapa engkau hendak mengingkari janji dan menentang perintah Raja , anakku? Mengapa?”
Namun peringatan itu sia-sia. Tanpa memperdulikan kata-kata ibunya. Bangsacara mengambil segenggam tanah. Dan sambil menaburkan kembali tanah itu dari genggamannya. Ia berkata lantang,
“Langit dan bumi menjadi saksi! Aku bersumpah! Seandainya aku sampai mengambil Dewi Ragapadmi menjadi istriku, aku rela tubuhku hancur lebur seperti leburnya tanah yang aku taburkan ini”
“Wahai anakku Bangsacara! Mengapa engkau bersumpah seperti itu? Seandainya engkau betul - betul tidak mau, ya sudahlah. Tapi tidak usah bersumpah segala. Tidak baik kelak kesudahannya. Tidak mau, ya cukup tidak engkau laksanakan. Serahkanlah Putri Ragapadmi kepadaku, dan tinggalkan dia disini. Engkau tidak sudi, biar aku yang mengobati peryakitnya. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang melimpahkan pertolongan,"
Maka Bangsacara kembali ke kerajaan. Tinggallah Ragapadmi bersama ibunya. Ibunya membimbing Ragapadmi  masuk kedalam rumah, dengan cermatnya perempuan tua penjaga makam itu memeriksa penyakit Ragapadmi. Dahinya terkerut-kerut. Akan tetapi setelah mengetahui dengan pasti apa penyakit Ragapadmi, ketegangan wajahnya seketika lenyap.
"Ragapadmi, kuatkanlah hatimu menerima cobaan ini. Marilah kita mohon pertolongan Tuhan semoga usaha Ibu berhasil."
Cerita selanjut, Pagi-pagi sekali Ibu tua penjaga astana telah pergi ke pasar. Sebongkah prusi sebesar kepada bayi telah dibelinya. Tanpa mengenal lelah, ia langsung pulang, setibanya dirurnah langsung mengambil lumpang dan antan. Kemudian tepung prusi yang sudah dijemur ditahurkan disekujur tubuh yang penuh luka.
Astaga. Ragapadmi pingsan ketika obat mengguyur tubuhnya. Sehari semalam ia tetap diam belum juga siuman. Seperti mati. Tapi bersama terbitnya matahari Pagi ia sadar dan anehnya luka-lukanya sudah kering. Baunya yang busuk sudah lenyap. Dan sebentar saja wajah Ragapadmi kembali menjadi seorang putri yang cantik jelita, lebih cantik dari sebelum ia sakit campak. Ragapadmi kini laksana bulan purama yang baru saja terbit menjenguk alam senja diufuk timur.
Sementara di Istana kerajaan, kejadian menimpa Ragapadmi membuat Bangsacara teringat pada Ragapadmi. Mendadak ia ingin pulang dan langsung menghadap pada Baginda Bidarba. Bangsacara langsung mohon diri dan berangkat dengan langkah cepat. Dan setelah sampai ditikungan jalan depan rumahnya, tiba-tiba hatinya berdesir. Bangsacara tertegun sejenak lalu perlahan-lahan ia masuk pendapa. Ibunya menyambut gembira dan melonjak-lonjak girang. Ibunya masuk dalam rumah .
"Ragapadmi, lihatlah kakangmu sudah datang. Sambutlah dia, dan jangan lupa bawalah tempat sirihmu."
"Selamat datang kakang. Silahkan meramu sirih dengan tambakau dari semarang. Sedangkan kapurnya buatan surabaya."
Bangsacara mematung seolah-olah tidak mendengar sapaan Ragapadmi. Multnya menganga, kedua matanya melebar. Perasaannya seperti sedang bermimpi didatangi bidadari. Biji matanya keluar dan berputar-putar makin lama makin lebar. Tiba-tiba tubuhnya jadi kaku, pikiranya beku. Kesadarannya lenyap sama sekali dan gelepak…….ia jatuh terjerembab dan pingsan.
"Bangsacara, bangsacara, Kenapa kau nak .” Ibunya barteriak histeris. Ragapadmi, tolonglah kakakngmu. Lekas.” Tapi Ragapadmi tidak mau. Ia masih ingat akan sumpah Bangsacara, yang menabur tanah.
"Ragapadmi, janganlah engkau bersitegang. Kasihinilah kakangmu. Ragapadmi. Berilah ia obat, yaitu dengan cara meludahinva. Dalam hal ini akulah yang sesungguhnva harus kau ingat. Akulah yang, kau kasihani. Sebab jika kakangmu mati aku akan gila dan bergelandangan sepanjang jalan. Sampai hatikah engkau melihatku demikian."
Sambil mengangguk, Ragapadmi mengambil dua daun sirih, secuil pinang, dan gambir. Kemudia di  kunyah lambat-lambat, kemudian;
"Cuh"
Ketika ludah itu menyentuh tubuhnya, Bangsacara bergerak-gerak.
"Sekali lagi Ragapadmi."
"Cuh"
Serentak saja, Bangsacara bangkit dan langsung menangkap kedua tangan Ragapadmi. Ragapadmi terkejut dan berusaha melepaskannya. Tapi sia-sia. Kemudian Bangsacara memeluk pinggang Ragapadmi yang kemudian diangkat dan dibawa duduk dibalai-balai. Tapi, setelah sampai di balai-balai, tiba-tiba Ragapadmi pingsan.
"Kenapa engkau Ragapadmi, Ragapadmi.... Kenapa engkau. Tegakah engkau padaku" Bangunlah Ragapadmi, jika engkau benar-benar sayang kepadaku. Bangunlah."
Bangsacara terus menyadarkannya. la ungkapkan kata-kata lembut. Rambutnya dibelai-betai mesra, sedangkan bibirnva dikecup mesra. Perlahan Ragapadmi sadar. "Lepaskan kakang, lepaskan aku. Hatiku kacau dan tidak menentu. Aku masih ingat sumpah kakang, tapi kakang telah melanggarnya"
"Maatkan aku Ragapadmi, Aku benar-benar menyesal. Menyesai sekali. Kini aku sangat mendambakan cinta sebagai pelipur hati yang sangat pilu. Mudah-mudahan cintamu yang lulus akan melepaskan aku dari kematian yang mengerikan." Ragapadmi tertunduk. Dalam hatinya ia berbisik; "demi cintaku, aku akan setia padamu Bangsacara." Maka dibawalah ragapadmi masuk dalam rumah.
Sementara di Istana kerajaan Pacangan, Madura, Raja Bidarba memang benar-benar saying pada Bangsacara, perasaan cemas dihati Raja Bidarba terselip. Oleh karena itu dalam suatu siding raja terpaksa memperbincangkan persoalan Bangsacara dengan perdana menterinya.
    "Bangsapati! Ketahuilah bahwa Bangsacara sudah lama tidak datang menghadap. Sampai hati ini kurang lebih sudah tiga bulan. Padahal ketika berangkat sudah kupesan agar tidak terlampau lama Aku merasa cemas. Siapa tahu sedang sakit atau mendapat halangan di perjalanan, atau di aniaya sampai mati. Oleh karena itu cobalah kau selidiki apa sehenarnya yang telah terjadi"
          “Hari itu juga Bangsapati berangkat lengkap dengan seluruh pengiringnya. Bangsapati yang sudah lama memendan dendam dan benci malah mendoakan agar bangsacara agar tidak bisa kembali ke. istana. Oleh karena itu ia selalu mencari kesempatan untuk menyingkirkan. Bangsacara dari istana. Dan ia berharap, sekarang kesempatan itu datang.
          "Hai penghuni rumah! Janganlah kalian terkejut! Aku datang sebagai utusan baginda Raja Bidarba . Janganlah kalian berpura-pura tidak tahu!"
          Dengan amat tergesa-gesa Bangsacara lari keluar menyongsong tamu yang datang. Ia tampak amat cemas. Jantungnya berdebar keras. Wajahnya pucat pasi.
          "Kiranya Kyai Patih. Silahkan. Silahkan duduk Kyai!" Tubuh Bangsacara gemetar.
          Ragapadmi juga sudah tahu bahwa ada tamu. Daun sirih, kapur sirih; gambir, pinang, cengkeh, kemukus, tembakau, semua sudah lengkap. Lalu ia keluar dengan dengan tempat ludah yang terbuat dari kuningan.
•• "Silahkan Kyai!"
Patih Bangsapatih tidak menjawab. Bahkan ia hanya tertegun-tegun seperti orang linglung. Mulutnya ternganga Memandang Ragapadmi. Dengan tangan berulang kali ia menggosok - gosok mukanya. Akan tetapi semakin lama ia berfikir, semakin bingung dan linglung. Lidahnya seperti kelu. Kemudian apa yang dilakukan benar-benar diluar dugaan sama sekali tiba-tiba ia berdiri. Lalu menengok kekanan dan kekiri terus keluar cepat-cepat pulang menghadap Raja.

"Bangsapati!Mengapa engkau pulang dengan napas tersengal-sengal seperti diburu hantu?" " Duhai Baginda. Hamba telah bertemu dengan Bangsacara."
"oooo,dia masih selamat? Syukurlah!
"Tapi dia telah melakukan hal yang tercela."
"Mengapa'?"
"Dia telah mengkhianati Paduka. Kerjanya sehari-hari hanya bersenar-senang dengan istrinya.
Istrinya laksana Bidadari. Seumur hidup hamba belum pernah            melihat wanita cantik seperti dia. Menurut pendapat hamba, hanya Baginda seorang yang pantas menjadi berdampingan dengannya. Hati hamba sangat tidak rela melihat keadaan itu."
"Bangsapati, ketahuilah! Dahulu Ragapadmi menderita penyakit campak. Keadaanya sangat mengerikan. Pada waktu itulah dia kuberikan pada Bangsacara. Rupa-rupanya sekarang telah sembuh. Ia tetap akan menjadi istri Bangsacara!” jawab Raja tegas.
Tapi dasar Bangsapati. Pikirannya jahat. kurangajar. Ia tetap bersikeras hendak merenggut Ragapadmi dari tangan Bangsacara. Seperti batu terkena tetes-tetes air. Akhirnya raja Bidarba luluh di depan Bangsapati.
"Baginda! Tentu saja hamba bersunaguh-sunggah. Asalkan, ada kepercayaan penuh dari Baginda,"
"Ya! Aku percayakan sepenuhnya."
"Untuk menipu Bangsacara, hamba telah siap. Kebetulan pelayan Paduka itu mempunyai dua ekor anjing. Anjing pemburu yang sangat tangkas. Sicaplok dan si Tanduk. Di situlah kuncinya. Pura-pun atas, perintah paduka, Bangsacara harus pergi memburu kepulau Mandangin. Jika la sudah berangkat, hamba akan segera menyusul ke pulau Mandangin."
"Baiklah. Tetapi ingat! Engkau akan menjadi seorang pembunuh. Engkau akan punya hutang nyawa. Jika engkau ingkar janji, engkau pun akan kuhunuh mati, sebagai penehus nyawa Bangsacara."
Demikianlah patih Bangsapati. Dengan dalih atas perintah Raja Bidarba, ia bersiap untuk menyingkirkan Bangsacara dengan akal liciknya.
          Maka setelah melakukan perjalanan jauh tibalah Bangsapati di Rumah Bangsacara.
          "Ketahuilah Bangsacara! Kedatanganku membawa titah paduka Raja Bidarba untukmu.
        "Kyai Patih! Apakah gerangan titah baginda?" Tanya Bangsacara tidak sabar.
          "Engkau dititahkan mengumpulkan tiga ratus ekor kijang."
          "Tiga ratus ekor kijang?" ulang Bangsacara
          "Ya tiga ratus. Raja mendengar bahwa engkau punya dua ekor anjing pemburu yang hebat, sangat cekatan memburu kijang. Bukankah begitu, Bangsacara?"
          "Benar kyai. Si Ceplok dan Si Tanduk."
          "Dan lagi raja minta supaya engkau berburu di Pulau Mandangin. Jangan ditempat lain. Engkau beruntung ! karena di pulau itu kijang tak terbilang banyaknya. Nah, lekaslah besiap-siap aku akan segera kembali melapor pada baginda.”
        "Oooo, Kyai Patih sudah pulang, Kakang?" sambut Ragapadmi ketika melihat suaminya melangkah masuk."
          "Sudah," jawab Bangsacara seraya duduk di sampina istrinya.
          "Mengapa is datang lagi?"
          "Begini Ragapadmi! Ia datang membawa titah Baginda. Aku mendapat perintah untuk pergi ke Pulau Mandangin. Menurut keterangan Kyai Patih, Baginda Raja Bidarba memhutuhkan 300 ekor kijang. Aku ditugaskan mencari kijang itu.
          "Tiga ratus ekor kijang?" Tanya Ragapadmi.
          "Ya tiga ratus kijang. Aku tidak dapat menentukan berapa lama aku pergi Ragapadmi. Selama aku pergi baik-baiklah engkau di rumah. Tidak usah memikirkan aku. Mudah-mudahan aku lekas kembali."
          "Kakang. Aku tak mau kau tinggalkan. Aku akan tetap ikut kemana pun engkau pergi. Hidup matiku ingin bersatna kakang. Aku tak sanggup berpisah barang sekejap.           Jika engkau sakit, akulah yang akan member obat. Bila engkau mati, akupun akan menyertaimu.
          Bangsacara tidak menjawab. la hanya mengangguk. Lalu ia meraih pinggang Ragapadmi. Keningnya dikecup lembut, lalu kepalanya ditekankan ke dadanya Rambutnya dibelai dan perlahan-lahan dibaringkannya tubuh Ragapadmi, sambil masih tetap berada dalam pelukan, seolah-olah tak akan dilepaskan. Akhirnya Ragapadami tertidur pulas.
          Dalam keadaan itulah perlahan-lahan sekali Bangsacara turun dari pembaringan. Ia mengemasi segala keperluan. Hatinya teramat pedih seperti tersayat sembilu. Selesai berkemas Bangsacara terus saja berangkat, tanpa menjengkuk lagi istrinya di pembaringan. Kebetulan ibunya pada waktu itu juga belum kembali dari pekerjaannya membersihkan makam. Dengan suatu isarat kedua ekor anjingnya segera mengikutinya. Setelah beberapa saat kemudian ia berjalan, sampailah Bangsacara di sebuah desa Batoputeh yang terletak di tepi pantai.
        "Ceplok! Tanduk! Aku akan menyeberang ke Pulau Mandangin. Lekaslah bersiap! Aku akan mengapung sambil berpegangan pada ekormu. Bawalah aku kesana!” ujar Bangsacara pada kedua anjingnya. Ceplok dan Tanduk mengerti apa kemauan tuannya. Ketiganya segera terjun ke laut; saja.
        Guer, guer……..guer……………
        Sampai sudah Bangsacara ke Pulau Mandangin. Oleh karena itu setibanya di Pantai Mandangin, setelah mengaso sejenak untuk melepaskan lelah mereka melanjutkan perjalanan kepedalaman. Penjelasan Patih Bangsapati ternyata benar. Di sebuah padang belukar yang tidak terlampau rimbun berpuluh-puluh rusa berkeliaran. Bangsacara member isarat pada Ceplok dan Tanduk. Dan sebentar saja.
        “Ceplok! Tanduk! Berhenti! Sudah cukup!” seru Bangsacara memanggil anjingnya. Ceplok dan Tanduk berhenti. Lalu berjalan tuannya Bangsacara yang duduk bersandar pada sebatang pohon. Kedua kakinya terjulur lurus, sedangkan tangannya meramu kapur sirih. Duduk santai di ujung kaki Bangsacara. Napasnya Ceplok dan Tanduk masih berkejaran mendengus-dengus. Badannya bergoyang-goyang mundur maju karena lelahnya.
        Akan tetapi tanpa di duga Bangsapati dengan dua puluh orang pengikutnya telah berada dibelakangnya.
        “Hai Bangsacara! Kesini!
        “Ya, Kyai Patih!” jawab Bangsacara.
        “Masih ada perintah lagi Kyai? Mengapa Kyai kelihatan marah? Tiga ratus ekor kijang telah saya kumpulkan. Jika masih dianggap kurang, Kyai tinggal member perintah lagi. Saya bersama Ceplok dan Tanduk masih bersedia mencari lagi. Kijang seluruh pulau Mandangin dapat kami kumpulkan.”
        Tidak! Bukan itu. Bangsacara, dengarkan baik-baik. Baginda Raja Bidarba memerintahkan kepadaku, untuk….mencabut nyawamu!” kemudian Patih Bangsapati tertawa terbahak-bahak.
        “Kalau memang demikian kehendak raja, saya tidak akan melawan. Meskipun saya tidak merasa berdosa dan tidak bersalah sedikitpun, tetapi saya rela mati demi keinginan raja. Mungkin memang sudah saatnya Tuhan memanggil saya. Mungkin….”
        “Sudah! Tak usah banyak bicara! Jika benar-benar engkau sudah pasrah mendekatlah segera!”
        Bangsacara benar-benar tidak membantah. Cepat Patih Bangsapati menarik keris dari sarungnya, langsung ditikamkan ke lambung kiri Bangsacara, tembus sampai ke dada.
   “Selamat tinggal Ragapadmi. Semoga engkau berbahagia sepeninggalku. Aku mati di tangan Kyai Patih,” ujar Bangsacara seperti berbisik.
   “Tak usah menyebut-nyebut istrimu. Memang akhirnya engkau harus matu. Matilah!”
   Sementara, melihat majikannya tewas sia-sia Ceplok dan Tanduk cepat lari menghindar, lalu terjun ke laut. Tujuannya hendak kembali ke rumah menyampaikan berita tentang peristiwa yang sudah terjadi di Pulau Mandangin. Keduanya dengan cepat berlari dan terus berlari, Huk….huk….huk……sampai di rumah tuannya, kedua ekor anjing itu langsung masuk kamar. Hati Ragapadmi berdesir melihat Ceplok dan Tanduk pulang sendiri. Ia bangkit tergopoh-gopoh seraya bertanya.
   Dimana majikanmu? Kau tinggalkan di mana? Mengapa tidak pulang bersama-sama?” Kecemasan Ragapadmi semakin memuncak ketika dilihatnya tingkah laku Ceplok dan Tanduk. Kedua anjing itu berputar-putar mengelilingi Ragapadmi sambil menggigit dan menarik-narik ikalan benang ditangan istri Bangsacara. Hal itu membuat Ragapadmi semakin gugup.
   “Duduk! Duduk! Perintahnya. Akan tetapi Ceplok dan Tanduk tidak menurut perintah.
   “Hai Ceplok, Tanduk, aku tidak mengerti maksudmu!”
   Hampir bersamaan Ceplok dan Tanduk melolong. Suaranya memilukan. Kemudian lari keluar Ragapadmi mengejar. Air matanya sudah tidak terbendung lagi. Sambil berlari Ragapadmi masuk mengambil seeking (pisau yang amat kecil), patram (keris kecil untuk wanita) dan sehelai kerudung. Tidak henti-hentiknya ia menangis. Seeking ditancapkan di sanggul, patram diselipkan di pinggang.
   “Mari Ceplok, Tanduk! Tunjukkan di mana majikanmu berburu. “Ceplok dan Tanduk segera lari meninggalkan Ragapadmi jauh di belakang.
   “Jangan cepat-cepat! Tunggulah aku!”
   Mendadak, setelah berlari jauh si Ceplok dan Tanduk kembali kea rah Ragapadmi. Melihat hal itu Ragapadmi tertegun dan langkahnya terhenti. Cepat Ceplok dan Tanduk menggigit kain dan menarik Ragapadmi kea rah sebatang pohon pule yang sangat besar. Ia mengerti kehendak anjingnya untuk bersembunyi.
   “Ada apa tadi di depan?” tanyanya berisik.
   Tiba-tiba dari arah Timur tampak sebuah rombongan Patih Bangsapati berjalan sambil tertawa-tawa. Ternyata mereka telah meninggalkan Pulau Mandangin. Melihat rombongan itu tubuh Ragapadmi gemetar. Ia cepat-cepat bersembunyi di sebelah utara jalan, di sisi barat pohon pule. Hanya beberapa langkah dari jalan. Bangsapati tampak gembira, karena maksudnya menyingkirkan Bangsacara untuk selama-lamanya telah tercapai. Langkah-langkah mereka semakin dekat. Ragapadmi melekatkan tubuhnya ke pohon pule. Untunglah tidak ada seorang pun yang menoleh. Mereka berjalan cepat-cepat. Tujuannya tak lain ialah rumah Bangsacara. Maksudnya sudah pasti, yaitu mengambil Ragapadmi.
   Setelah rombongan Patih Bangsapati hilang ditelan semak-semak lebat, Ragapadmi, Ceplok dan Tanduk melanjutkan perjalanan. Kemudian sampailah mereka ketepi pantai. Ceplok, Tanduk, langsung membawa Ragapadmi berenang menyebrangi ganasnya ombak ke pulau Mandangin dengan selamat. Tanpa beristirahat sejenak mereka langsung berjalan menyusuri hutan.
   “Ceplok dan Tanduk. Di manakah tuanmu? Lekas tunjukkan!”
   “Baik, Tuan Putri. Ikutilah kami. Nanti Tuan Putri akan sampai ke tempat tujuan.”
   Sampai di tempat, ternyata benar. Ceplok dan Tanduk terbaring lunglai mengapit manyat Bangsacara. Sentakan perasaannya tak tertahankan. Tiba-tiba matanya menggelap. Tubuhnya lunglai. Denyut nadinya terhenti seketika. Ragapadmi roboh terguling di tanah. Pingsan. Suasana yang memilukan itu semakin menyayat hati karena Ceplok dan Tanduk melolong panjang. Sepanjang matanya berkaca-kaca dan kuyu. Perlahan-lahan keduanya bangkit, mendekati Ragapadmi dan menjilati kakinya. Jilatan-jilatan Ceplok dan Tanduk membuat Ragapadmi siuman.
   “Kang, Kakang. Aku akan mengikuti kematianmu. Aku tak mau kau tinggalkan, Kakang.”
   Kemudian ia memaksakan diri bangkit. Wajah suaminya diamat-amati. Lalu tak henti-hentinya diciumi, seraya air matanya semakin deras meleleh, membasahi wajah Bangsacara yang pucat dan beku. Ia sudah tak dapat menguasai dirinya. Seperti kena pesona, tanganya meraba-raba sanggulnya mengambil patram, lalu ia mendongak. Dan….crap! crap! crap! Patram itu ditikamkan ke dadanya. Darah bersimbah melimpah dari luka-lukanya. Tubuhnya bergoncang lalu jatuh terlentang. Ceplok dan Tanduk benar-benar setia. Keduanya ingin mati bersama. Patram di dada Ragapadmi digigit dan dicabut, lalu kakinya di hantamkan ke patram, crap! Crap! Crap. Sebentar tubuh anjing itu berputar-putar seperti gasing. Lalu menggelepar….mati.
   Patih Bangsapati yang mula-mula ingin segera mengambil Ragapadmi tiba-tiba berobah pikiran. Hatinya berkembang oleh kegembiraan dan kebanggaan karena telah berhasil membunuh Bangsacara
   “Yang Mulia, hamba datang menghadap.”
   “Katakan apa yang telah engkau kerjakan!” Patih Bangsapati terkejut mendengar nada bengis suara raja Bidarba. Ia lalu menceritakan hasil perjalannya ke pulau Mandangin.
   “Lalu, mana Ragapadmi?” raja Bidarba bertambah marah.
   “Ampun Baginda. Sang dewi masih hamba tinggalkan di rumahnya. Hamba mohon titah Paduka Yang Mulia agar…” belum selesai Bangsapati bicara, Raja BIdarba sudah membentak.
   “Lekas jemput! Bawa jempana dan benda-benda upacara! PRajurit pilihan untuk pengiring! Bunyi-bunyian sepanjang jalan! Bernagkat!”
   Patih Bangsapati mengundurkan diri dengan tubuh gemetar karena kecewa dan cemas. Buru-buru ia mempersiapkan segala keperluan penjemputan. Perjalannya seperti dikejar setan.
   “Sang Dewi! Hamba datang diutus baginda menjemput Paduka dan hamba telah menyediakan jempana kencana. Sang Dewi kini ditunggu baginda untuk segera kembali ke istana. Hamba mohon jangan berlama-lama. Nanti hamba kena murka,” demikian ujar Bangsapati mengambil hati.
   Sudah berkali-kali ia mengetuk pintu dan menyatakan maksud kedatangannya, akan tetapi tetap tak ada jawaban. Ia sudah tidak sabar lagi. Akhirnya pintu dibuka dengan paksa sekuat tenaga. Tetapi betapa tercenganya ia, ketika di dalam ternyata tak seorang pun tampak. Dengan hati berdebar-debar dan tubuh lesu Bangsapati kembali ke pendapa dengan berpikir keras mencari alas an.
   “Hai Patih! Mengapa gamclan monggang tak berkumandang? Mengapa tembakan kehormatan tak kedengaran? Mana janjimu membawa Ragapadmi?” Pertanyaan raja Bidarba membanjiri .
   “Ampun beribu ampun, Baginda. Sang Dewi tak mau kembali ke istana jika bukan baginda sendiri yang menjemput. Hamba tidak berani memaksa, karena sang Dewi hendak bunuh diri.” Bangsapati tak bias menyembunyikan kegugupannya.
   “Patih keparat!” raja Bidarba berteriak. “Kau penipu! Apakah kau kira aku tidak tahu? Ragapadmi adalah seorang wanita yang setia. Firasatku mengatakan, ia telah menyusul suaminya ke alam baka!”
   “Para Adipati! Tangkap orang itu!” Bangsapati ditangkaplalu dibelenggu. Buyar harapan dan seluruh rencananya yang busuk. Lebih-lebih ketika Raja Bidarba dengan wajah berapi-api berkata.
   “Sesuai dengan janjiku, jika engkau tidak dapat menyelesaikan tugas dengan baik, engkau harus membayar nyawa Bangsacara dengan umurmu. Sekarang juga harus engkau bayar!”
   Maka dibunuhlah Bangsapati biar jadi teladan bagi setiap orang yang berwatak dengki dan selalu iri hati.
Bagaimana dengan mayat Bangsacara dan Ragapadmi serta kedua anjingnya?
Di kota pelabuhan Sumenep hidup beberapa orang nahkoda pada umumnya mereka hidup kecukupan dari usahanya, bahkan ada yang amat kaya. Raja Bidarba juga tahu ia jujur. Sehingga acapkali ia mendapat tugas mengirim dan menjualkan barang-barang dagangan Negara. Kali ini ia mendapat tugas ke Pelembang, membawa jagung dan garam.
Maka berangkatlah mereka mengarungi laut yang maha dahsyat. Ombak besar menghantam pinggiran kappa. Biur … biur…biur ketika sampa di sebelah selatan pulau Mandangin, nahkoda melihat pemandangan yang sangat menarik perhatiannya.
“Juru mudi!, Gulung layar dan buanglah sauh!” kita akan berlaguh di sini sebentar ! perintahnya tiba-tiba.
“Kyai! Mengapa kita berhenti di sini?”
“Lihatlah burung-burung itu!” jawab nahkoda.
Di atas pulau Mandangin tampak ratusan burung terbang dalam suatu kelompok berputar putrar seperti ada sesuatu yang sedang dicari.
“Persediaan air kurasa masing kurang. Mungkin di bawah burung-burung itu terdapat telaga yang jernih, demikian perintah nahkoda.
Beberapa orang menurunkan skoci agar dapat mencapai tempat yang dangkal. Mereka berjalan kearah dimana para burung-burung beterbangan. Dalam angan-angkan mereka terbayang sebuah mata air yang jernih melimpah ruah.
“Mana airnya?” ujar yang berjalan paling depan
“Mungkin sebentar lagi?”
Mereka sudah dekat sekali dengan kelompok burung di atas tetapi belum tampak air yang melimpah, belum terdengar gemercik air mengalir. Sejenak mereka berhenti dan saling berpandangan.
“Lihat!” tiba-tiba seorang diantara mereka berseru sambil menunjuk. “Astagfirullah hal adzim”
Bukan sumber air yang mereka lihat,melainkan mayat dua orang, laki-laki perempuan dan dua ekor anjing. Itulah mayat Bangsacara, Ranggapadmi serta Ceplok dan Tanduk.
“Pantas di atasnya beterbangan burung-burung. Rupanya inilah yang akan jadi mangsa kendur burung-burung itu.”
“Mari kita kuburkan mayat ini. Menurut kata nenek dan orang-orang tua. Jika seseorang tak mau menguburkan mayat yang ia temukan orang itu akan sial. “kata salah seorang paling tua diantara mereka.
Tanpa panjang lebar mereka langsung menggali kubur. Yang dua berdampingan, yang satu di arah bawah untuk Ceplok dan Tanduk. Setelah penguburan selesai mereka bergegas kembeli ke perahu tanpa membawa air. Tetapi baru saja mereka berjalan beberapa puluh langkah, tiba-tiba seekor gagak putih melayang turun dan hinggap di kayu nisan seraya berkata seperti manusia. Demikian ujarnya.
“Barang siapa mengubur mayat, seperti kembang asam layaknya.kecil tapi besar buahnya. “Empat orang anak perahu itu menoleh, tetapi gagak putih telah terbang menghilang. Mereka meneruskan perjalanan.
“Mari cepat berangkat. Kita buktikan kelak, apa benar kata-kata si gagak putih,” perintahnya.
Sauh dibongkar layat dikelar ke atas. Kembali mereka mengarungi golongan ombak menuju Palembang. Setelah sampai di Palembang, saudagar-saudagar Palembang berduyun-duyun datang menyongsong dengan perahu-perahu kecil hendak membeli dagangan. Perahu Madura itu penuh manusia berdesak-desak membeli barang, sehingga sebagian dari saudagar Palembang harus sabar menunggu. Jual beli berjalan sangat lancar.Tidak ada tawar menawar. Terima barang serahkan uang. Uangnya berupa kepingan-kepingan emas. Uang sudah bertumpuk, tetapi dagangan masih membukit. Takjub nahkoda Maduara.
“Rupanya inilah yang disyaratkan oleh gagak putih,” demikian ujarnya dalam hati.
Dan sebentar saja semua barang daganan habis. Mereka langsung untuk cepat bertemu dengan keluarganya. Seiring dengan bertiupnya angin laut, orang-orangdi pantai Sumenep mendengar kumandang suara gamelan, seruling, genang, gong serta sangkakalah, tandnya akan dating ke pelabihan sebuah perahu niaga yang istimewa. Dalam pada itu di tengah-tengah hiruk pikuk gamelan, nahkoda member peringatan pada anak buahnya.
“Utamakan tugas, kemudian baru keluarga aku bersama dengan syahbandar akan menghadap raja.”
“Baik kyai! Jawab anak buahnya
Dihadapan Raja Bidarba dan para adipati, nahkoda yang jujur itu melaporkan semua hasil niaga dan menceritakan seluruh pengalamannya sejak berangka hingga pulang. Pengalaman di pulau Mandanggin angin timur yang memperlancar pelayaran sambutan pedagang-pedagang Palembang penjualan yang sangat lancar keuntungan yang berlipat ganda, semua diceritakan.
“Kisah yang sangat menarik,” ujar Raja Bidarba selesai mendengarkan cerita nahkoda, lalu Tanya “tahukah kahan mayat siapa yang tergeletak ditengah hutang Mandangin itu?
Tak ada seorang pun yang menjawab
“Itulah mayat Bangsacara dan Ragapadmi. Dua orang yang dapat dijadikan lambang kesetiaan sejati”. Raja menjelaskan.
“Ooooo! Seru hadirin sesudah mereka mengerti.
“Kesetiaan yang patut dijadikan teladan,” gumam seorang adipati tua
“Benar!” sambut raja Bidarba
“Oleh karena itu, paman!” perintahnya pada patih pengganti Bangsapati. “Perintahkan pada tukang-tukang yang pandai untuk membuat atap makam Bangsacara dan Ragapadmi. Aku sendiri akan kesana memberikan penghormatan. Bukan kepada bangsacara, tetapi pada kesetiaannya.”    



Kalau sudah membaca cerita diatas, maka buanglah pola pikir yang berkembang di masyarakat terkain pulau mandangin yang katanya tempat pembuangan para terkena penyakit kusta,  sesuai dengan cerita bangsacara diatas. Dan certia diatas saya ambil dari tokoh masyarakat melalui wawancara, jadi cerita diatas adalah hasil penlitian saya.
Pulau mandangin bukan tempat pembuangan para orang yang terkena penyait kusta, melaikan pulau mandangin tempat sejarah janji cinta suci bangsacara dan raga padmi beserta kesetiaan anjing anjingnya, yang disebut dengan cinta dibawa mati kata lain ungkapan cinta dengan wajah yang berdarah.

Kamis, 29 November 2018

SEPENGGAL SEJARAH PULAU MADURA

By: Fiq

Bangkalan dulunya lebih dikenal dengan sebutan Madura barat. Penyebutan ini, mungkin lebih ditekankan pada alasan geografis. Soalnya, Kabupaten Bangkalan memang terletak di ujung barat Pulau Madura. Dan, sejak dulu, Pulau Madura memang sudah terbagi-bagi. Bahkan, tiap bagian memiliki sejarah dan legenda sendiri-sendiri. Berikut laporan wartawan Radar Madura di Bangkalan, Risang Bima Wijaya secara bersambung.


Menurut legenda, sejarah Madura barat bermula dari munculnya seorang raja dari Gili Mandangin (sebuah pulau kecil di selat Madura) atau lebih tepatnya di daerah Sampang. Nama raja tersebut adalah Lembu Peteng, yang masih merupakan putra Majapahit hasil perkawinan dengan putri Islam asal Campa. Lembu Peteng juga seorang santri Sunan Ampel. Dan, Lembu Peteng-lah yang dikenal sebagai penguasa Islam pertama di Madura Barat.


Namun dalam perkembangan sejarahnya, ternyata diketahui bahwa sebelum Islam, Madura pernah diperintah oleh penguasa non muslim, yang merupakan yang berasal dari kerajaan Singasari dan Majapahit. Hal ini diperkuat dengan adanya pernyataan Tome Pires (1944 : 227) yang mengatakan, pada permulaan dasawarsa abad 16, raja Madura belum masuk Islam. Dan dia adalah seorang bangsawan mantu Gusti Pate dari Majapahit.


Pernyataan itu diperkuat dengan adanya temuan – temuan arkeologis, baik yang bernafaskan Hindu dan Bhudda. Temuan tersebut ditemukan di Desa Kemoning, berupa sebuah lingga yang memuat inskripsi. Sayangnya, tidak semua baris kalimat dapat terbaca. Dari tujuh baris yang terdapat di lingga tersebut, pada baris pertama tertulis, I Caka 1301 (1379 M), dan baris terakhir tertulis, Cadra Sengala Lombo, Nagara Gata Bhuwana Agong (Nagara: 1, Gata: 5, Bhuwana: 1, Agong: 1) bila dibaca dari belakang, dapat diangkakan menjadi 1151 Caka 1229 M.


Temuan lainnya berupa fragmen bangunan kuno, yang merupakan situs candi. Oleh masyarakat setempat dianggap reruntuhan kerajaan kecil. Juga ditemukan reruntuhan gua yang dikenal masyarakat dengan nama Somor Dhaksan, lengkap dengan candhra sengkala memet bergambar dua ekor kuda mengapit raksasa.


Berangkat dari berbagai temuan itulah, diperoleh gambaran bahwa antara tahun 1105 M sampai 1379 M atau setidaknya masa periode Singasari dan Majapahit akhir, terdapat adanya pengaruh Hindu dan Bhudda di Madura barat.


Sementara temuan arkeologis yang menyatakan masa klasik Bangkalan, ditemukan di Desa Patengteng, Kecamatan Modung, berupa sebuah arca Siwa dan sebuah arca laki-laki. Sedang di Desa Dlamba Daja dan Desa Rongderin, Kecamatan Tanah Merah, terdapat beberapa arca, di antaranya adalah arca Dhayani Budha.


Temuan lainnya berupa dua buah arca ditemukan di Desa Sukolilo Barat Kecamatan Labang. Dua buah arca Siwa lainnya ditemukan di pusat kota Bangkalan. Sementara di Desa Tanjung Anyar Bangkalan ditemukan bekas Gapura, pintu masuk kraton kuno yang berbahan bata merah.


Di samping itu, berbagai temuan yang berbau Siwais juga ditemukan di makam-makam raja Islam yang terdapat di Kecamatan Arosbaya. Arosbaya ini pernah menjadi pusat pemerintahan di Bangkalan. Misalnya pada makam Oggo Kusumo, Syarif Abdurrachman atau Musyarif (Syech Husen). Pada jarak sekitar 200 meter dari makam tersebut ditemukan arca Ganesha dan arca Bhirawa berukuran besar.

Demikian pula dengan temuan arkeologis yang di kompleks Makam Agung Panembahan Lemah Duwur, ditemukan sebuah fragmen makam berupa belalai dari batu andesit.


Dengan temuan-temuan benda kuno yang bernafaskan Siwais di makam-makam Islam di daerah Arosbaya itu, memberi petunjuk bahwa Arosbaya pernah menjadi wilayah perkembangan budaya Hindu. Penemuan benda berbau Hindu pada situs-situs Islam tersebut menandakan adanya konsinyuitas antara kesucian. Artinya, mandala Hindu dipilih untuk membangun arsitektur Islam.


Arosbaya merupakan pusat perkembangan kebudayaan Hindu di Madura Barat (Bangakalan) semakin kuat dengan adanmya temuan berupa bekas pelabuhan yang arsitekturnya bernafaskan Hindu, dan berbentuk layaknya sebuah pelabuhan Cina.



Dari Plakaran Ke Arosbaya, Pragalba ke Pratanu (Lemah Dhuwur)

Bangkalan, Radar.-


Sosok Pratanu atau lebih dikenal dengan Panembahan Lemah Duwur adalah putera Raja Pragalba. Dia dikenal sebagai pendiri kerajaan kecil, yang berpusat di Arosbaya. Masyarakat Bangakalan menokohkan Pratanu sebagai penyebar agama Islam yang pertama di Madura. Bahkan, putera Pragalba ini disebut-sebut sebagai pendiri masjid pertama di Madura. Selain itu, Pratanulah yang mengawali hubungan dengan daerah lain, yaitu Pajang dan Jawa.


Perjalanan sejarah Bangkalan tidak bisa dilepaskan dengan munculnya kekuasaan di daerah Plakaran, yang selanjutnya disebut dengan Kerajaan Plakaran. Kerajaan ini diperkirakan muncul sebelum seperempat pertama abad 16, yakni sebelum penguasa Madura barat memeluk Islam.


Plakaran diawali dengan kedatangan Kiyai Demung dari Sampang. Dia adalah anak dari Aria Pujuk dan Nyai Ageng Buda. Setelah menetap di Plakaran, Kiyai Demung dikenal dengan nama Demung Plakaran. Dia mendirikan kraton di sebelah barat Plakaran atau sebelah timur Arosbaya, yang dinamakan Kota Anyar (Pa’ Kamar 1951: 113).


Sepeninggal Demung Plakaran, kekuasaan dipegang oleh Kiai Pragalba, anaknya yang nomor lima. Pragalba mengangkat dirinya sebagai Pangeran Plakaran dari Arosbaya. Selanjutnya meluaskan daerah kekuasaannya hingga hampir seluruh Madura.


Paragalba mempunyai tiga orang istri. Pratanu adalah anak dari istri ketiganya. Semasa kekuasaan Pragalba inilah agama Islam mulai disebarkan di Madura barat, yang dilakukan oleh para ulama dari Giri dan Gresik. Penyebarannya meliputi daerah pesisir pantai sekitar selat Madura pada abad ke-15 (FA Sutjipto Tirtoatmodjo 1983 : 13)


Islam berkembang pesat sejak penyeberannya dilakukan secara teratur oleh Syech Husen dari Ampel (Hamka 1981:137). Bahkan, ia mendirikan masjid di Arosbaya. Menurut cerita masyarakat Arosbaya, reruntuhan di sekitar makam Syech Husen adalah masjid yang didirikannya.


Namun meski Islam sudah masuk di Madura barat, Pragalba belum memeluk Islam. Tetapi justru putranya Pratanu yang memeluk agama Islam. Peristiwa tersebut ditandai dengan candra sengkala yang berbunyi: Sirna Pandawa Kertaning Nagara (1450 caka 1528 M).


Peristiwa tersebut berbarengan dengan pudarnya kekuasaan Majapahit setelah dikuasai Islam tahun 1527 M. Selain itu, Kerajaan Plakaran mengakui kekuasaan Demak, sehingga diperkirakan penerimaan Islam di Madura bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Majapahit.


Menjelang wafat, Pragalba masuk Islam dengan menganggukkna kepala, karena itu dia mendapat sebutan Pangeran Onggu’ (mengangguk, Red). Sepeninggalnya, Pratanu naik tahta dengan gelar Panembahan Lemah Dhuwur. Itu terjadi pada tahun 1531-1592.


Di masa pemerintahan Lemah Dhuwur inilah pusat pemerintahan Plakaran dipindahkan ke Arosbaya. Karena itu, dia mendapat julukan sebagai pendiri Kerajaan Arosbaya. Lemahlah Dhuwur yang mendirikan kraton dan masjid pertama di Arosabaya.


Selama masa pemerintahan Panembahan Lemah Duwur, kerajaan Arosbaya telah meluaskan daerah kekuasaannya hingga ke seluruh Madura barat, termasuk Sampang dan Blega. Panembahan lemah Duwur mengawini putri Triman dari Pajang.


Ini juga menjadi bukti bahwa Lemah Duwur adalah penguasa Madura pertama yang menjalinm hubungan dengan Jawa. Berdasarkan Tutur Madura Barat, Rafless mengatakan bahwa Lemah Dhuwur adalah penguasa terpenting di daerah Jawa Timur pada masa itu.


Selanjutnya kekuasaan Arosbaya dipegang oleh putranya yang bernama Pangeran Tengah, hasil perkawinannya dengan puteri Pajang. Pangeran Tengah berkuasa tahun 1592-1620. Di masa pemerintahan Pangeran Tengah terjadi peristiwa terkenal yang disebut dengan 6 Desember 1596 berdarah, karena saat itu telah gugur dua orang utusan dari Arosbaya yang dibunuh oleh Belanda yaitu Patih Arosbaya Kiai Ronggo dan Penghulu Arosbaya Pangeran Musarip.


Sejak peristiwa itulah Arosbaya menyatakan perang dengan Belanda. Pangeran Tengah meninggal tahun 1620. Makamnya terletak di kompleks makam Syech Husen, dan sampai sekarang dikeramatkan oleh masyarakat setempat.


Pengganti Pangeran Tengah adalah adiknya yang bernama Pangeran Mas, yang berkuasa tahun 1621-1624. Sebetulnya yang berhak berkuasa adalah putra Pangeran Tengah yang bernama Pangeran Prasena. Namun karena masih kecil, dia diwakili oleh pamannya.


Di masa pemerintahan Pangeran Mas terjadi peristiwa penyerangan Sultan Agung ke Arosbaya pada tahun 1624. Itulah yang menyebabkan jatuhnya kerajaan Arosbaya. Sedang Pangeran Mas melarikan diri ke Demak dan Pangeran Prasena dibawa oleh juru kitting ke Mataram.


Peperangan antara Mataram dan Arosbaya yang berlangsung pada hari Minggu 15 September 1624 tersebut, memang patut dikenang sebagai perjuangan rakyat Madura. Tentara madura yang berjumlah 2.000 orang melawan 50.000 orang tentara Mataram, Saat itu Mataram harus membayar mahal, karena mereka telah kehilangan panglima perang tertingginya, Tumenggung Demak dan kehilangan 6.000 prajurit.


Saat itu laki-laki dan wanita Arosbaya berjuang bersama bahu membahu maju kemedan pertempuran. Ada sebuah kisah menarik di sini. Dikisahkan saat di medan perang ada beberapa prajurit lelaki yang mengeluh karena luka berat. Tetapi katika para wanita melihat luka tersebut terdapat dibagian belakang, para wanita tersebut menusuk prajurit tadi hingga tewas.


’’Lukanya di bagian belakang, artinya prajurit itu telah berbalik lari, hingga dilukai di bagian punggungnya oleh musuh, mereka pengecut dalam,’’ demikian kata-kata para wanita Arosbaya.



Cakraningrat I Anak Angkat Sultan Agung


Prasena, putera Pangeran Tengah dari Arosbaya disertai Pangeran Sentomerto, saudara dari ibunya yang berasal dari Sampang, dibawa oleh Panembahan Juru Kitting beserta 1000 orang Sampang lainnya ke Mataram. Di Mataram Prasena diterima dengan senang hati oleh Sultan Agung, yang sekanjutnya diangkat sebagai anak.


Bahkan, kemnudian Prasena dinobatkan sebagai penguasa Madura yang bergelar Cakraningrat I. Dia dianugerahi hadiah uang sebesar 20 ribu gulden dan berhak memakai payung kebesaran berwarna emas. Sebaliknya, Cakraningrat I diwajibkan hadir di Mataram setahun sekali. Karena selain menjadi penguasa Madura, dia juga punya tugas-tugas penting di Mataram. Sementara pemerintahan di Sampang dipercayakan kepada Pangeran Santomerto.


Cakraningrat I kemudian menikah dengan adik Sultan Agung, namun hingga istrinya, meninggal dia tidak mendapat keturunan. Kemudian Cakraningrat I menikah dengan Ratu Ibu, yang masih keturunan Sunan Giri. Dari perkawinannya kali ini dia menmpunyai tiga orang anak, yaitu RA Atmojonegoro, R Undagan dan Ratu Mertoparti. Sementara dari para selirnya dia mendapatkan sembilan orang anak, salah satu di antaranya adalah Demang Melaya.


Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645 yang kemudian diganti oleh Amangkurat I, Cakraningrat harus menghadapai pemberontakan Pangeran Alit, adik raja. Tusukan keris Setan Kober milik Pangeran Alit menyebabkan Cakraningrat I tewas seketika. Demikian pula dengan puteranya RA Atmojonegoro, begitu melihat ayahnya tewas dia segera menyerang Pangeran Alit, tapi dia bernasib sama seperti ayahnya.


Cakraningrat I diganti oleh Undagan. seperti halnya Cakraningrat I, Undagan yang bergelar Cakraningrat II ini juga lebih banyak menghabiskan waktunya di Mataram. Di masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan putra Demang Melaya yang bernama Trunojoyo terhadap Mataram.


Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan Cakraningrat II dan kemudian mengasingkannya ke Lodaya Kediri. Pemberontakan Trunojoyuo ini mendapat dukungan dari rakyat Madura. Karena Cakraningrat II dinilai rakyat Madura telah mengabaikan pemerintahan Madura.


Kekuatan yang dimiliki kubu Trunojoyo cukup besar dan kuat, karena dia berhasil bekerja sama dengan Pangeran Kejoran dan Kraeng Galesong dari Mataram. Bahkan, Trunojoyo mengawinkan putrinya dengan putra Kraeng Galesong, unutk mempererat hubungan.


Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri sebagai Raja Merdeka Madura barat, dan merasa dirinya sejajar dengan penguasa Mataram. Berbagai kemenangan terus diraihnya, misalnya, kemenangannya atas pasukan Makassar (mei 1676 ) dan Oktober 1676 Trunojoyo menang atas pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Anom.


Selanjutnya Trunojoyo memakai gelar baru yaitu Panembahan Maduretna. Tekanan-tekanan terhadap Trunojoyo dan pasukannya semakin berat sejak Mataram menandatangani perjanjian kerjasama dengan VOC, tanggal 20 maret 1677. Namun tanpa diduga Trunojoyo berhasil menyerbu ibukota Mataram, Plered. Sehingga Amangkurat harus menyingkir ke ke barat, dan meninggal sebelum dia sampai di Batavia.


Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679. Dengan padamnya pemberonrtakan Trunojoyo. VOC kembali mengangkat Cakraningrat II sebagai penguasa di Madura, karena VOC merasa Cakraningrat telah berjasa membantu pangeran Puger saat melawan Amangkurat III, sehingga Pangeran Puger berhasil naik tahta bergelar Paku Buwono I. Kekuasaan Cakraningrat di Madura hanya terbatas pada Bangkalan, Blega dan Sampang.


Pemerintahan Madura yang mulanya ada di Sampang, oleh Cakraningrat II dipindahkan ke Tonjung Bangkalan. Dan terkenal dengan nama Panembahan Sidhing Kamal, yaitu ketika dia meninggal di Kamal tahun 1707, saat dia pulang dari Mataram ke Madura dalam usia 80 tahun. Raden Tumenggung Sosrodiningrat menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Madura barat dengan gelar Cakraningrat III.


Suatau saat terjadi perselisihan antara Cakraningrat dengan menantunya, Bupati Pamekasan yang bernama Arya Adikara. Untuk menghadapi pasukan dari Pamekasan, Cakraningrat III meminta bantuan dari pasukan Bali. Dimasa Cakraningrat inilah Madura betul-betul bergolak, terjadi banyak peperangan dan pemberontakan di Madura.


Tumenggung Surahadiningrat yang diutus Cakraningrat untuk menghadapi pasukan Pamekasan ternyata menyerang pasukan Cakraningrat sendiri dengan bantuan pasukan Sumenep. Sekalipun Cakraningrat meninggal, pergolakan di Madura masih terus terjadi.


Cakraningrat III digantikan oleh Timenggung Surahadiningrat dengan gelar Cakraningrat IV. Awal pemerintahan Cakraningrat IV diwarnai banyak kekacauan. Pasukan Bali dibawah kepemimpinan Dewa Ketut yang sebelumnya diminta datang oleh Cakaraningrat III, datang dengan membawa 1000 prajurit.


Tahu yang meminta bantuan sudah meninggal dan situasi telah berubah, pasukan Bali menyerang Tonjung. Cakraningrat yang sedang berada di Surabaya memerintahkan adiknya Arya Cakranegara untuk mengusir pasukanBali. Tetapi Dewa Ketut berhasil membujuk Cakranegara untuk berbalik menyerang Cakraningrat IV. Tetapi dengan bantuan VOC, Cakranoingrat IV berhasil mengusir pasukan Arya Cakranegara dan Bali.


Kemudian dia memindahkan pusat pemerintahannya ke Sambilangan. Suatau peristiwa yang terkenal dengan Geger Pacina (pemberontakan masyarakat Cina) juga menjalar ke Mataram. Cakraningrat IV bekerjasama dengan VOC memerangi koalisi Mataram dan Cina ini. Namun hubungan erat antar Madura denga VOC tidak langgeng. Cakraningrat menyatakan perang dengan VOC karena VOC telah berkali-kali melanggar janji yang disepakati.