Jumat, 30 November 2018

BANGSACARA DAN RAGAPATMI


By: Rofiq Guenius


Cerita Bangsacara dan Raga padmi di pulau Mandangin Sampang Madura
DERITA SEORANG SELIR

Ibarat "Habis manis sepah dibuang", sampai saat ini masih dikenal orang, hahkan sering kali masih terpakai. Seperti tebu, jika airnya sudah terisap habis, tinggallah sepahnya kemudian dibuang. Ini dikisahkan kepada orang-rang yang mula-mula sangat menghargai sesuatu atau seseorang. Akan tetapi setelah bosan langsung dibuang, disia-siakan.
Demikian pula yang terjadi pada Bidarba dari Madura, yang memunyai patih bernama Bangsapati, dan memunyai seorang pelayan yang sangat dikasihinya bernama Bangsacara. Raja Bidarba punya permaisuri 4 orang dan masih banyak istri lainnya. Diantra istri yang banyak itu ada yang bernama Ragapadmi, yang sangat muda dan cantik.
Namun tidak disangka-sangka Ragapadmi yang cantik itu terkena penyakit campak. Sekujur tumbuhnya bintul-bintul, lalu pecah yang kemudian nanah meleleh tiada henti. Raja Bidarba, menjadi kesal melihatnya. Segala obat tidak ada yang mempan untuk menyembuhkannya. Akhirnya raja memanggil Bangsacara.
"Hai, Bangsacara, Putri Ragapatmi ternyata tidak bisa diobati lagi. Segala macam usaha telah sia-sia”. Kata Raja Bidarba setelah Bangsacara menghadap.
“Lalu bagaimana kehendak paduka”
"Begini Bangsacara, bawalah dia kerumahmu dan ambillah sebagai istrimu untuk selamanya. Dan kau Ragapadmi kekasihku, lakukanlah perintahku. Ikutilah Bangsacara semoga kau bahagia selamanya.
Maka Bangsacara dan Ragapadmi keluar dari istana dengan wajah murung muram, wajah Bangsacara dan Ragapadmi penuh luka dan keringkihan Ragapadmi bersedih dan menangis sepanjang jalan.
    “Adinda Ragapadmi. Jangan menangis sepanjang jalan seperti itu. Tidak pantas dilihat orang”.
Setelah sampai dirumah, Bangsacara lain menceritakan kepada ibunya siapa sebenarnya perempuan yang dia bawa, dan bagaimana perintah Raja Bidarba kepadanya. Pada akhir ceritanya. Bangsacara berkata, “Akan tetapi berat hatiku untuk melaksanakan perintah itu”.
“Mengapa engkau hendak mengingkari janji dan menentang perintah Raja , anakku? Mengapa?”
Namun peringatan itu sia-sia. Tanpa memperdulikan kata-kata ibunya. Bangsacara mengambil segenggam tanah. Dan sambil menaburkan kembali tanah itu dari genggamannya. Ia berkata lantang,
“Langit dan bumi menjadi saksi! Aku bersumpah! Seandainya aku sampai mengambil Dewi Ragapadmi menjadi istriku, aku rela tubuhku hancur lebur seperti leburnya tanah yang aku taburkan ini”
“Wahai anakku Bangsacara! Mengapa engkau bersumpah seperti itu? Seandainya engkau betul - betul tidak mau, ya sudahlah. Tapi tidak usah bersumpah segala. Tidak baik kelak kesudahannya. Tidak mau, ya cukup tidak engkau laksanakan. Serahkanlah Putri Ragapadmi kepadaku, dan tinggalkan dia disini. Engkau tidak sudi, biar aku yang mengobati peryakitnya. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang melimpahkan pertolongan,"
Maka Bangsacara kembali ke kerajaan. Tinggallah Ragapadmi bersama ibunya. Ibunya membimbing Ragapadmi  masuk kedalam rumah, dengan cermatnya perempuan tua penjaga makam itu memeriksa penyakit Ragapadmi. Dahinya terkerut-kerut. Akan tetapi setelah mengetahui dengan pasti apa penyakit Ragapadmi, ketegangan wajahnya seketika lenyap.
"Ragapadmi, kuatkanlah hatimu menerima cobaan ini. Marilah kita mohon pertolongan Tuhan semoga usaha Ibu berhasil."
Cerita selanjut, Pagi-pagi sekali Ibu tua penjaga astana telah pergi ke pasar. Sebongkah prusi sebesar kepada bayi telah dibelinya. Tanpa mengenal lelah, ia langsung pulang, setibanya dirurnah langsung mengambil lumpang dan antan. Kemudian tepung prusi yang sudah dijemur ditahurkan disekujur tubuh yang penuh luka.
Astaga. Ragapadmi pingsan ketika obat mengguyur tubuhnya. Sehari semalam ia tetap diam belum juga siuman. Seperti mati. Tapi bersama terbitnya matahari Pagi ia sadar dan anehnya luka-lukanya sudah kering. Baunya yang busuk sudah lenyap. Dan sebentar saja wajah Ragapadmi kembali menjadi seorang putri yang cantik jelita, lebih cantik dari sebelum ia sakit campak. Ragapadmi kini laksana bulan purama yang baru saja terbit menjenguk alam senja diufuk timur.
Sementara di Istana kerajaan, kejadian menimpa Ragapadmi membuat Bangsacara teringat pada Ragapadmi. Mendadak ia ingin pulang dan langsung menghadap pada Baginda Bidarba. Bangsacara langsung mohon diri dan berangkat dengan langkah cepat. Dan setelah sampai ditikungan jalan depan rumahnya, tiba-tiba hatinya berdesir. Bangsacara tertegun sejenak lalu perlahan-lahan ia masuk pendapa. Ibunya menyambut gembira dan melonjak-lonjak girang. Ibunya masuk dalam rumah .
"Ragapadmi, lihatlah kakangmu sudah datang. Sambutlah dia, dan jangan lupa bawalah tempat sirihmu."
"Selamat datang kakang. Silahkan meramu sirih dengan tambakau dari semarang. Sedangkan kapurnya buatan surabaya."
Bangsacara mematung seolah-olah tidak mendengar sapaan Ragapadmi. Multnya menganga, kedua matanya melebar. Perasaannya seperti sedang bermimpi didatangi bidadari. Biji matanya keluar dan berputar-putar makin lama makin lebar. Tiba-tiba tubuhnya jadi kaku, pikiranya beku. Kesadarannya lenyap sama sekali dan gelepak…….ia jatuh terjerembab dan pingsan.
"Bangsacara, bangsacara, Kenapa kau nak .” Ibunya barteriak histeris. Ragapadmi, tolonglah kakakngmu. Lekas.” Tapi Ragapadmi tidak mau. Ia masih ingat akan sumpah Bangsacara, yang menabur tanah.
"Ragapadmi, janganlah engkau bersitegang. Kasihinilah kakangmu. Ragapadmi. Berilah ia obat, yaitu dengan cara meludahinva. Dalam hal ini akulah yang sesungguhnva harus kau ingat. Akulah yang, kau kasihani. Sebab jika kakangmu mati aku akan gila dan bergelandangan sepanjang jalan. Sampai hatikah engkau melihatku demikian."
Sambil mengangguk, Ragapadmi mengambil dua daun sirih, secuil pinang, dan gambir. Kemudia di  kunyah lambat-lambat, kemudian;
"Cuh"
Ketika ludah itu menyentuh tubuhnya, Bangsacara bergerak-gerak.
"Sekali lagi Ragapadmi."
"Cuh"
Serentak saja, Bangsacara bangkit dan langsung menangkap kedua tangan Ragapadmi. Ragapadmi terkejut dan berusaha melepaskannya. Tapi sia-sia. Kemudian Bangsacara memeluk pinggang Ragapadmi yang kemudian diangkat dan dibawa duduk dibalai-balai. Tapi, setelah sampai di balai-balai, tiba-tiba Ragapadmi pingsan.
"Kenapa engkau Ragapadmi, Ragapadmi.... Kenapa engkau. Tegakah engkau padaku" Bangunlah Ragapadmi, jika engkau benar-benar sayang kepadaku. Bangunlah."
Bangsacara terus menyadarkannya. la ungkapkan kata-kata lembut. Rambutnya dibelai-betai mesra, sedangkan bibirnva dikecup mesra. Perlahan Ragapadmi sadar. "Lepaskan kakang, lepaskan aku. Hatiku kacau dan tidak menentu. Aku masih ingat sumpah kakang, tapi kakang telah melanggarnya"
"Maatkan aku Ragapadmi, Aku benar-benar menyesal. Menyesai sekali. Kini aku sangat mendambakan cinta sebagai pelipur hati yang sangat pilu. Mudah-mudahan cintamu yang lulus akan melepaskan aku dari kematian yang mengerikan." Ragapadmi tertunduk. Dalam hatinya ia berbisik; "demi cintaku, aku akan setia padamu Bangsacara." Maka dibawalah ragapadmi masuk dalam rumah.
Sementara di Istana kerajaan Pacangan, Madura, Raja Bidarba memang benar-benar saying pada Bangsacara, perasaan cemas dihati Raja Bidarba terselip. Oleh karena itu dalam suatu siding raja terpaksa memperbincangkan persoalan Bangsacara dengan perdana menterinya.
    "Bangsapati! Ketahuilah bahwa Bangsacara sudah lama tidak datang menghadap. Sampai hati ini kurang lebih sudah tiga bulan. Padahal ketika berangkat sudah kupesan agar tidak terlampau lama Aku merasa cemas. Siapa tahu sedang sakit atau mendapat halangan di perjalanan, atau di aniaya sampai mati. Oleh karena itu cobalah kau selidiki apa sehenarnya yang telah terjadi"
          “Hari itu juga Bangsapati berangkat lengkap dengan seluruh pengiringnya. Bangsapati yang sudah lama memendan dendam dan benci malah mendoakan agar bangsacara agar tidak bisa kembali ke. istana. Oleh karena itu ia selalu mencari kesempatan untuk menyingkirkan. Bangsacara dari istana. Dan ia berharap, sekarang kesempatan itu datang.
          "Hai penghuni rumah! Janganlah kalian terkejut! Aku datang sebagai utusan baginda Raja Bidarba . Janganlah kalian berpura-pura tidak tahu!"
          Dengan amat tergesa-gesa Bangsacara lari keluar menyongsong tamu yang datang. Ia tampak amat cemas. Jantungnya berdebar keras. Wajahnya pucat pasi.
          "Kiranya Kyai Patih. Silahkan. Silahkan duduk Kyai!" Tubuh Bangsacara gemetar.
          Ragapadmi juga sudah tahu bahwa ada tamu. Daun sirih, kapur sirih; gambir, pinang, cengkeh, kemukus, tembakau, semua sudah lengkap. Lalu ia keluar dengan dengan tempat ludah yang terbuat dari kuningan.
•• "Silahkan Kyai!"
Patih Bangsapatih tidak menjawab. Bahkan ia hanya tertegun-tegun seperti orang linglung. Mulutnya ternganga Memandang Ragapadmi. Dengan tangan berulang kali ia menggosok - gosok mukanya. Akan tetapi semakin lama ia berfikir, semakin bingung dan linglung. Lidahnya seperti kelu. Kemudian apa yang dilakukan benar-benar diluar dugaan sama sekali tiba-tiba ia berdiri. Lalu menengok kekanan dan kekiri terus keluar cepat-cepat pulang menghadap Raja.

"Bangsapati!Mengapa engkau pulang dengan napas tersengal-sengal seperti diburu hantu?" " Duhai Baginda. Hamba telah bertemu dengan Bangsacara."
"oooo,dia masih selamat? Syukurlah!
"Tapi dia telah melakukan hal yang tercela."
"Mengapa'?"
"Dia telah mengkhianati Paduka. Kerjanya sehari-hari hanya bersenar-senang dengan istrinya.
Istrinya laksana Bidadari. Seumur hidup hamba belum pernah            melihat wanita cantik seperti dia. Menurut pendapat hamba, hanya Baginda seorang yang pantas menjadi berdampingan dengannya. Hati hamba sangat tidak rela melihat keadaan itu."
"Bangsapati, ketahuilah! Dahulu Ragapadmi menderita penyakit campak. Keadaanya sangat mengerikan. Pada waktu itulah dia kuberikan pada Bangsacara. Rupa-rupanya sekarang telah sembuh. Ia tetap akan menjadi istri Bangsacara!” jawab Raja tegas.
Tapi dasar Bangsapati. Pikirannya jahat. kurangajar. Ia tetap bersikeras hendak merenggut Ragapadmi dari tangan Bangsacara. Seperti batu terkena tetes-tetes air. Akhirnya raja Bidarba luluh di depan Bangsapati.
"Baginda! Tentu saja hamba bersunaguh-sunggah. Asalkan, ada kepercayaan penuh dari Baginda,"
"Ya! Aku percayakan sepenuhnya."
"Untuk menipu Bangsacara, hamba telah siap. Kebetulan pelayan Paduka itu mempunyai dua ekor anjing. Anjing pemburu yang sangat tangkas. Sicaplok dan si Tanduk. Di situlah kuncinya. Pura-pun atas, perintah paduka, Bangsacara harus pergi memburu kepulau Mandangin. Jika la sudah berangkat, hamba akan segera menyusul ke pulau Mandangin."
"Baiklah. Tetapi ingat! Engkau akan menjadi seorang pembunuh. Engkau akan punya hutang nyawa. Jika engkau ingkar janji, engkau pun akan kuhunuh mati, sebagai penehus nyawa Bangsacara."
Demikianlah patih Bangsapati. Dengan dalih atas perintah Raja Bidarba, ia bersiap untuk menyingkirkan Bangsacara dengan akal liciknya.
          Maka setelah melakukan perjalanan jauh tibalah Bangsapati di Rumah Bangsacara.
          "Ketahuilah Bangsacara! Kedatanganku membawa titah paduka Raja Bidarba untukmu.
        "Kyai Patih! Apakah gerangan titah baginda?" Tanya Bangsacara tidak sabar.
          "Engkau dititahkan mengumpulkan tiga ratus ekor kijang."
          "Tiga ratus ekor kijang?" ulang Bangsacara
          "Ya tiga ratus. Raja mendengar bahwa engkau punya dua ekor anjing pemburu yang hebat, sangat cekatan memburu kijang. Bukankah begitu, Bangsacara?"
          "Benar kyai. Si Ceplok dan Si Tanduk."
          "Dan lagi raja minta supaya engkau berburu di Pulau Mandangin. Jangan ditempat lain. Engkau beruntung ! karena di pulau itu kijang tak terbilang banyaknya. Nah, lekaslah besiap-siap aku akan segera kembali melapor pada baginda.”
        "Oooo, Kyai Patih sudah pulang, Kakang?" sambut Ragapadmi ketika melihat suaminya melangkah masuk."
          "Sudah," jawab Bangsacara seraya duduk di sampina istrinya.
          "Mengapa is datang lagi?"
          "Begini Ragapadmi! Ia datang membawa titah Baginda. Aku mendapat perintah untuk pergi ke Pulau Mandangin. Menurut keterangan Kyai Patih, Baginda Raja Bidarba memhutuhkan 300 ekor kijang. Aku ditugaskan mencari kijang itu.
          "Tiga ratus ekor kijang?" Tanya Ragapadmi.
          "Ya tiga ratus kijang. Aku tidak dapat menentukan berapa lama aku pergi Ragapadmi. Selama aku pergi baik-baiklah engkau di rumah. Tidak usah memikirkan aku. Mudah-mudahan aku lekas kembali."
          "Kakang. Aku tak mau kau tinggalkan. Aku akan tetap ikut kemana pun engkau pergi. Hidup matiku ingin bersatna kakang. Aku tak sanggup berpisah barang sekejap.           Jika engkau sakit, akulah yang akan member obat. Bila engkau mati, akupun akan menyertaimu.
          Bangsacara tidak menjawab. la hanya mengangguk. Lalu ia meraih pinggang Ragapadmi. Keningnya dikecup lembut, lalu kepalanya ditekankan ke dadanya Rambutnya dibelai dan perlahan-lahan dibaringkannya tubuh Ragapadmi, sambil masih tetap berada dalam pelukan, seolah-olah tak akan dilepaskan. Akhirnya Ragapadami tertidur pulas.
          Dalam keadaan itulah perlahan-lahan sekali Bangsacara turun dari pembaringan. Ia mengemasi segala keperluan. Hatinya teramat pedih seperti tersayat sembilu. Selesai berkemas Bangsacara terus saja berangkat, tanpa menjengkuk lagi istrinya di pembaringan. Kebetulan ibunya pada waktu itu juga belum kembali dari pekerjaannya membersihkan makam. Dengan suatu isarat kedua ekor anjingnya segera mengikutinya. Setelah beberapa saat kemudian ia berjalan, sampailah Bangsacara di sebuah desa Batoputeh yang terletak di tepi pantai.
        "Ceplok! Tanduk! Aku akan menyeberang ke Pulau Mandangin. Lekaslah bersiap! Aku akan mengapung sambil berpegangan pada ekormu. Bawalah aku kesana!” ujar Bangsacara pada kedua anjingnya. Ceplok dan Tanduk mengerti apa kemauan tuannya. Ketiganya segera terjun ke laut; saja.
        Guer, guer……..guer……………
        Sampai sudah Bangsacara ke Pulau Mandangin. Oleh karena itu setibanya di Pantai Mandangin, setelah mengaso sejenak untuk melepaskan lelah mereka melanjutkan perjalanan kepedalaman. Penjelasan Patih Bangsapati ternyata benar. Di sebuah padang belukar yang tidak terlampau rimbun berpuluh-puluh rusa berkeliaran. Bangsacara member isarat pada Ceplok dan Tanduk. Dan sebentar saja.
        “Ceplok! Tanduk! Berhenti! Sudah cukup!” seru Bangsacara memanggil anjingnya. Ceplok dan Tanduk berhenti. Lalu berjalan tuannya Bangsacara yang duduk bersandar pada sebatang pohon. Kedua kakinya terjulur lurus, sedangkan tangannya meramu kapur sirih. Duduk santai di ujung kaki Bangsacara. Napasnya Ceplok dan Tanduk masih berkejaran mendengus-dengus. Badannya bergoyang-goyang mundur maju karena lelahnya.
        Akan tetapi tanpa di duga Bangsapati dengan dua puluh orang pengikutnya telah berada dibelakangnya.
        “Hai Bangsacara! Kesini!
        “Ya, Kyai Patih!” jawab Bangsacara.
        “Masih ada perintah lagi Kyai? Mengapa Kyai kelihatan marah? Tiga ratus ekor kijang telah saya kumpulkan. Jika masih dianggap kurang, Kyai tinggal member perintah lagi. Saya bersama Ceplok dan Tanduk masih bersedia mencari lagi. Kijang seluruh pulau Mandangin dapat kami kumpulkan.”
        Tidak! Bukan itu. Bangsacara, dengarkan baik-baik. Baginda Raja Bidarba memerintahkan kepadaku, untuk….mencabut nyawamu!” kemudian Patih Bangsapati tertawa terbahak-bahak.
        “Kalau memang demikian kehendak raja, saya tidak akan melawan. Meskipun saya tidak merasa berdosa dan tidak bersalah sedikitpun, tetapi saya rela mati demi keinginan raja. Mungkin memang sudah saatnya Tuhan memanggil saya. Mungkin….”
        “Sudah! Tak usah banyak bicara! Jika benar-benar engkau sudah pasrah mendekatlah segera!”
        Bangsacara benar-benar tidak membantah. Cepat Patih Bangsapati menarik keris dari sarungnya, langsung ditikamkan ke lambung kiri Bangsacara, tembus sampai ke dada.
   “Selamat tinggal Ragapadmi. Semoga engkau berbahagia sepeninggalku. Aku mati di tangan Kyai Patih,” ujar Bangsacara seperti berbisik.
   “Tak usah menyebut-nyebut istrimu. Memang akhirnya engkau harus matu. Matilah!”
   Sementara, melihat majikannya tewas sia-sia Ceplok dan Tanduk cepat lari menghindar, lalu terjun ke laut. Tujuannya hendak kembali ke rumah menyampaikan berita tentang peristiwa yang sudah terjadi di Pulau Mandangin. Keduanya dengan cepat berlari dan terus berlari, Huk….huk….huk……sampai di rumah tuannya, kedua ekor anjing itu langsung masuk kamar. Hati Ragapadmi berdesir melihat Ceplok dan Tanduk pulang sendiri. Ia bangkit tergopoh-gopoh seraya bertanya.
   Dimana majikanmu? Kau tinggalkan di mana? Mengapa tidak pulang bersama-sama?” Kecemasan Ragapadmi semakin memuncak ketika dilihatnya tingkah laku Ceplok dan Tanduk. Kedua anjing itu berputar-putar mengelilingi Ragapadmi sambil menggigit dan menarik-narik ikalan benang ditangan istri Bangsacara. Hal itu membuat Ragapadmi semakin gugup.
   “Duduk! Duduk! Perintahnya. Akan tetapi Ceplok dan Tanduk tidak menurut perintah.
   “Hai Ceplok, Tanduk, aku tidak mengerti maksudmu!”
   Hampir bersamaan Ceplok dan Tanduk melolong. Suaranya memilukan. Kemudian lari keluar Ragapadmi mengejar. Air matanya sudah tidak terbendung lagi. Sambil berlari Ragapadmi masuk mengambil seeking (pisau yang amat kecil), patram (keris kecil untuk wanita) dan sehelai kerudung. Tidak henti-hentiknya ia menangis. Seeking ditancapkan di sanggul, patram diselipkan di pinggang.
   “Mari Ceplok, Tanduk! Tunjukkan di mana majikanmu berburu. “Ceplok dan Tanduk segera lari meninggalkan Ragapadmi jauh di belakang.
   “Jangan cepat-cepat! Tunggulah aku!”
   Mendadak, setelah berlari jauh si Ceplok dan Tanduk kembali kea rah Ragapadmi. Melihat hal itu Ragapadmi tertegun dan langkahnya terhenti. Cepat Ceplok dan Tanduk menggigit kain dan menarik Ragapadmi kea rah sebatang pohon pule yang sangat besar. Ia mengerti kehendak anjingnya untuk bersembunyi.
   “Ada apa tadi di depan?” tanyanya berisik.
   Tiba-tiba dari arah Timur tampak sebuah rombongan Patih Bangsapati berjalan sambil tertawa-tawa. Ternyata mereka telah meninggalkan Pulau Mandangin. Melihat rombongan itu tubuh Ragapadmi gemetar. Ia cepat-cepat bersembunyi di sebelah utara jalan, di sisi barat pohon pule. Hanya beberapa langkah dari jalan. Bangsapati tampak gembira, karena maksudnya menyingkirkan Bangsacara untuk selama-lamanya telah tercapai. Langkah-langkah mereka semakin dekat. Ragapadmi melekatkan tubuhnya ke pohon pule. Untunglah tidak ada seorang pun yang menoleh. Mereka berjalan cepat-cepat. Tujuannya tak lain ialah rumah Bangsacara. Maksudnya sudah pasti, yaitu mengambil Ragapadmi.
   Setelah rombongan Patih Bangsapati hilang ditelan semak-semak lebat, Ragapadmi, Ceplok dan Tanduk melanjutkan perjalanan. Kemudian sampailah mereka ketepi pantai. Ceplok, Tanduk, langsung membawa Ragapadmi berenang menyebrangi ganasnya ombak ke pulau Mandangin dengan selamat. Tanpa beristirahat sejenak mereka langsung berjalan menyusuri hutan.
   “Ceplok dan Tanduk. Di manakah tuanmu? Lekas tunjukkan!”
   “Baik, Tuan Putri. Ikutilah kami. Nanti Tuan Putri akan sampai ke tempat tujuan.”
   Sampai di tempat, ternyata benar. Ceplok dan Tanduk terbaring lunglai mengapit manyat Bangsacara. Sentakan perasaannya tak tertahankan. Tiba-tiba matanya menggelap. Tubuhnya lunglai. Denyut nadinya terhenti seketika. Ragapadmi roboh terguling di tanah. Pingsan. Suasana yang memilukan itu semakin menyayat hati karena Ceplok dan Tanduk melolong panjang. Sepanjang matanya berkaca-kaca dan kuyu. Perlahan-lahan keduanya bangkit, mendekati Ragapadmi dan menjilati kakinya. Jilatan-jilatan Ceplok dan Tanduk membuat Ragapadmi siuman.
   “Kang, Kakang. Aku akan mengikuti kematianmu. Aku tak mau kau tinggalkan, Kakang.”
   Kemudian ia memaksakan diri bangkit. Wajah suaminya diamat-amati. Lalu tak henti-hentinya diciumi, seraya air matanya semakin deras meleleh, membasahi wajah Bangsacara yang pucat dan beku. Ia sudah tak dapat menguasai dirinya. Seperti kena pesona, tanganya meraba-raba sanggulnya mengambil patram, lalu ia mendongak. Dan….crap! crap! crap! Patram itu ditikamkan ke dadanya. Darah bersimbah melimpah dari luka-lukanya. Tubuhnya bergoncang lalu jatuh terlentang. Ceplok dan Tanduk benar-benar setia. Keduanya ingin mati bersama. Patram di dada Ragapadmi digigit dan dicabut, lalu kakinya di hantamkan ke patram, crap! Crap! Crap. Sebentar tubuh anjing itu berputar-putar seperti gasing. Lalu menggelepar….mati.
   Patih Bangsapati yang mula-mula ingin segera mengambil Ragapadmi tiba-tiba berobah pikiran. Hatinya berkembang oleh kegembiraan dan kebanggaan karena telah berhasil membunuh Bangsacara
   “Yang Mulia, hamba datang menghadap.”
   “Katakan apa yang telah engkau kerjakan!” Patih Bangsapati terkejut mendengar nada bengis suara raja Bidarba. Ia lalu menceritakan hasil perjalannya ke pulau Mandangin.
   “Lalu, mana Ragapadmi?” raja Bidarba bertambah marah.
   “Ampun Baginda. Sang dewi masih hamba tinggalkan di rumahnya. Hamba mohon titah Paduka Yang Mulia agar…” belum selesai Bangsapati bicara, Raja BIdarba sudah membentak.
   “Lekas jemput! Bawa jempana dan benda-benda upacara! PRajurit pilihan untuk pengiring! Bunyi-bunyian sepanjang jalan! Bernagkat!”
   Patih Bangsapati mengundurkan diri dengan tubuh gemetar karena kecewa dan cemas. Buru-buru ia mempersiapkan segala keperluan penjemputan. Perjalannya seperti dikejar setan.
   “Sang Dewi! Hamba datang diutus baginda menjemput Paduka dan hamba telah menyediakan jempana kencana. Sang Dewi kini ditunggu baginda untuk segera kembali ke istana. Hamba mohon jangan berlama-lama. Nanti hamba kena murka,” demikian ujar Bangsapati mengambil hati.
   Sudah berkali-kali ia mengetuk pintu dan menyatakan maksud kedatangannya, akan tetapi tetap tak ada jawaban. Ia sudah tidak sabar lagi. Akhirnya pintu dibuka dengan paksa sekuat tenaga. Tetapi betapa tercenganya ia, ketika di dalam ternyata tak seorang pun tampak. Dengan hati berdebar-debar dan tubuh lesu Bangsapati kembali ke pendapa dengan berpikir keras mencari alas an.
   “Hai Patih! Mengapa gamclan monggang tak berkumandang? Mengapa tembakan kehormatan tak kedengaran? Mana janjimu membawa Ragapadmi?” Pertanyaan raja Bidarba membanjiri .
   “Ampun beribu ampun, Baginda. Sang Dewi tak mau kembali ke istana jika bukan baginda sendiri yang menjemput. Hamba tidak berani memaksa, karena sang Dewi hendak bunuh diri.” Bangsapati tak bias menyembunyikan kegugupannya.
   “Patih keparat!” raja Bidarba berteriak. “Kau penipu! Apakah kau kira aku tidak tahu? Ragapadmi adalah seorang wanita yang setia. Firasatku mengatakan, ia telah menyusul suaminya ke alam baka!”
   “Para Adipati! Tangkap orang itu!” Bangsapati ditangkaplalu dibelenggu. Buyar harapan dan seluruh rencananya yang busuk. Lebih-lebih ketika Raja Bidarba dengan wajah berapi-api berkata.
   “Sesuai dengan janjiku, jika engkau tidak dapat menyelesaikan tugas dengan baik, engkau harus membayar nyawa Bangsacara dengan umurmu. Sekarang juga harus engkau bayar!”
   Maka dibunuhlah Bangsapati biar jadi teladan bagi setiap orang yang berwatak dengki dan selalu iri hati.
Bagaimana dengan mayat Bangsacara dan Ragapadmi serta kedua anjingnya?
Di kota pelabuhan Sumenep hidup beberapa orang nahkoda pada umumnya mereka hidup kecukupan dari usahanya, bahkan ada yang amat kaya. Raja Bidarba juga tahu ia jujur. Sehingga acapkali ia mendapat tugas mengirim dan menjualkan barang-barang dagangan Negara. Kali ini ia mendapat tugas ke Pelembang, membawa jagung dan garam.
Maka berangkatlah mereka mengarungi laut yang maha dahsyat. Ombak besar menghantam pinggiran kappa. Biur … biur…biur ketika sampa di sebelah selatan pulau Mandangin, nahkoda melihat pemandangan yang sangat menarik perhatiannya.
“Juru mudi!, Gulung layar dan buanglah sauh!” kita akan berlaguh di sini sebentar ! perintahnya tiba-tiba.
“Kyai! Mengapa kita berhenti di sini?”
“Lihatlah burung-burung itu!” jawab nahkoda.
Di atas pulau Mandangin tampak ratusan burung terbang dalam suatu kelompok berputar putrar seperti ada sesuatu yang sedang dicari.
“Persediaan air kurasa masing kurang. Mungkin di bawah burung-burung itu terdapat telaga yang jernih, demikian perintah nahkoda.
Beberapa orang menurunkan skoci agar dapat mencapai tempat yang dangkal. Mereka berjalan kearah dimana para burung-burung beterbangan. Dalam angan-angkan mereka terbayang sebuah mata air yang jernih melimpah ruah.
“Mana airnya?” ujar yang berjalan paling depan
“Mungkin sebentar lagi?”
Mereka sudah dekat sekali dengan kelompok burung di atas tetapi belum tampak air yang melimpah, belum terdengar gemercik air mengalir. Sejenak mereka berhenti dan saling berpandangan.
“Lihat!” tiba-tiba seorang diantara mereka berseru sambil menunjuk. “Astagfirullah hal adzim”
Bukan sumber air yang mereka lihat,melainkan mayat dua orang, laki-laki perempuan dan dua ekor anjing. Itulah mayat Bangsacara, Ranggapadmi serta Ceplok dan Tanduk.
“Pantas di atasnya beterbangan burung-burung. Rupanya inilah yang akan jadi mangsa kendur burung-burung itu.”
“Mari kita kuburkan mayat ini. Menurut kata nenek dan orang-orang tua. Jika seseorang tak mau menguburkan mayat yang ia temukan orang itu akan sial. “kata salah seorang paling tua diantara mereka.
Tanpa panjang lebar mereka langsung menggali kubur. Yang dua berdampingan, yang satu di arah bawah untuk Ceplok dan Tanduk. Setelah penguburan selesai mereka bergegas kembeli ke perahu tanpa membawa air. Tetapi baru saja mereka berjalan beberapa puluh langkah, tiba-tiba seekor gagak putih melayang turun dan hinggap di kayu nisan seraya berkata seperti manusia. Demikian ujarnya.
“Barang siapa mengubur mayat, seperti kembang asam layaknya.kecil tapi besar buahnya. “Empat orang anak perahu itu menoleh, tetapi gagak putih telah terbang menghilang. Mereka meneruskan perjalanan.
“Mari cepat berangkat. Kita buktikan kelak, apa benar kata-kata si gagak putih,” perintahnya.
Sauh dibongkar layat dikelar ke atas. Kembali mereka mengarungi golongan ombak menuju Palembang. Setelah sampai di Palembang, saudagar-saudagar Palembang berduyun-duyun datang menyongsong dengan perahu-perahu kecil hendak membeli dagangan. Perahu Madura itu penuh manusia berdesak-desak membeli barang, sehingga sebagian dari saudagar Palembang harus sabar menunggu. Jual beli berjalan sangat lancar.Tidak ada tawar menawar. Terima barang serahkan uang. Uangnya berupa kepingan-kepingan emas. Uang sudah bertumpuk, tetapi dagangan masih membukit. Takjub nahkoda Maduara.
“Rupanya inilah yang disyaratkan oleh gagak putih,” demikian ujarnya dalam hati.
Dan sebentar saja semua barang daganan habis. Mereka langsung untuk cepat bertemu dengan keluarganya. Seiring dengan bertiupnya angin laut, orang-orangdi pantai Sumenep mendengar kumandang suara gamelan, seruling, genang, gong serta sangkakalah, tandnya akan dating ke pelabihan sebuah perahu niaga yang istimewa. Dalam pada itu di tengah-tengah hiruk pikuk gamelan, nahkoda member peringatan pada anak buahnya.
“Utamakan tugas, kemudian baru keluarga aku bersama dengan syahbandar akan menghadap raja.”
“Baik kyai! Jawab anak buahnya
Dihadapan Raja Bidarba dan para adipati, nahkoda yang jujur itu melaporkan semua hasil niaga dan menceritakan seluruh pengalamannya sejak berangka hingga pulang. Pengalaman di pulau Mandanggin angin timur yang memperlancar pelayaran sambutan pedagang-pedagang Palembang penjualan yang sangat lancar keuntungan yang berlipat ganda, semua diceritakan.
“Kisah yang sangat menarik,” ujar Raja Bidarba selesai mendengarkan cerita nahkoda, lalu Tanya “tahukah kahan mayat siapa yang tergeletak ditengah hutang Mandangin itu?
Tak ada seorang pun yang menjawab
“Itulah mayat Bangsacara dan Ragapadmi. Dua orang yang dapat dijadikan lambang kesetiaan sejati”. Raja menjelaskan.
“Ooooo! Seru hadirin sesudah mereka mengerti.
“Kesetiaan yang patut dijadikan teladan,” gumam seorang adipati tua
“Benar!” sambut raja Bidarba
“Oleh karena itu, paman!” perintahnya pada patih pengganti Bangsapati. “Perintahkan pada tukang-tukang yang pandai untuk membuat atap makam Bangsacara dan Ragapadmi. Aku sendiri akan kesana memberikan penghormatan. Bukan kepada bangsacara, tetapi pada kesetiaannya.”    



Kalau sudah membaca cerita diatas, maka buanglah pola pikir yang berkembang di masyarakat terkain pulau mandangin yang katanya tempat pembuangan para terkena penyakit kusta,  sesuai dengan cerita bangsacara diatas. Dan certia diatas saya ambil dari tokoh masyarakat melalui wawancara, jadi cerita diatas adalah hasil penlitian saya.
Pulau mandangin bukan tempat pembuangan para orang yang terkena penyait kusta, melaikan pulau mandangin tempat sejarah janji cinta suci bangsacara dan raga padmi beserta kesetiaan anjing anjingnya, yang disebut dengan cinta dibawa mati kata lain ungkapan cinta dengan wajah yang berdarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar